bersyukur dan bersabar

Posts tagged ‘Howard Gerdner’

SEKOLAH BERBASIS KECERDASAN MAJEMUK

Resensi Buku

Oleh Agung Prihantoro

Judul        : Sekolahnya Manusia
Penulis        : Munif Chatib
Penyunting    : Budhyastuti R.H.
Penerbit        : Kaifa, Bandung
Cetakan        : I, Mei 2009
Tebal        : xxiv + 186 halaman

The drive to learn is as strong as the sexual drive. It begins earlier and lasts longer.
—antropolog Edward T. Hall
(Peter Senge et al., Schools That Learn, 2000)

Malang benar anak-anak yang hasrat belajarnya terhambat. Padahal, hasrat belajar manusia, seturut temuan Hall di atas, sangat kuat, sama kuatnya dengan syahwat, dan bahkan tumbuh lebih awal serta hidup lebih lama ketimbang syahwat.
Hambatan utama untuk belajar, menurut Munif Chatib, penulis buku Sekolahnya Manusia, adalah sistem persekolahan yang salah. Sistem persekolahan yang salah ini disebabkan oleh, antara lain, landasan teori psikologi dan pendidikan yang sudah ketinggalan zaman.
Munif, yang merupakan alumnus Distance Learning di Supercamp Oceanside California Amerika Serikat, menunjukkan bahwa teori-teori kecerdasan kuno dalam psikologi dan pendidikan yang selama ini mendasari praktik persekolahan sebenarnya keliru. Lebih dari itu, dia telah membuktikan kebenaran dan keberhasilan penerapan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) di SMP Yayasan Islam Malik Ibrahim (YIMI) Full Day School Gresik, Jawa Timur, yang dipimpinnya. Buku ini merekam kebenaran dan keberhasilan tersebut.
Teori-teori kecerdasan lama yang digagas oleh Charles Spearman (1904), Alfred Binet (1905), sampai Hans Jürgen Eysenck (1986) mengakui satu jenis saja, yakni kecerdasan kognitif dengan satuan intelligence quotient (IQ). Potensi-potensi manusia di luar kecerdasan kognitif disebut bakat (talent).
Baru belakangan Howard Gardner (1983) dan S. Ceci (1994) menemukan bahwa manusia sejatinya mempunyai banyak kecerdasan. Teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang dirumuskan oleh Gardner kini lebih populer ketimbang teori multiple innate abilities Ceci. Kecerdasan majemuk meliputi kecerdasan-kecerdasan linguistik, logis-matematik, spasial, musikal, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal. Lalu, Gardner (1998) menemukan tiga kecerdasan lagi, yaitu naturalistik, spiritual, dan eksistensial.
Teori kecerdasan majemuk ini diaplikasikan dalam pendidikan, industri, politik, dan bidang-bidang lain. Dalam bidang pendidikan, teori ini diterapkan dengan beragam cara, tetapi, berdasarkan hasil penelitian Munif pada 2003, kebanyakan penerapannya tidak tepat (hlm. 84). Misalnya, sebuah sekolah melakukannya dengan membangun ruang fitness yang mewah.
Penerapannya yang tepat, lanjut Munif, adalah menurunkan teori kecerdasan majemuk ke dalam sistem persekolahan: konsep sekolah unggulan, cara penerimaan siswa baru, strategi pembelajaran, dan penilaian hasil belajar.
Pertama, sejalan dengan teori kecerdasan majemuk, sekolah unggulan ialah sekolah yang mengutamakan proses belajar-mengajar (the best process), bukan seleksi penerimaan siswa baru (the best input) (hlm. 91). Lazimnya, sekolah unggulan hanya menerima siswa-siswa baru yang “pintar”, maka wajarlah bila mereka semua kelak, misalnya, lulus Ujian Nasional. Sekolah yang berbasis teori kecerdasan majemuk menerima siswa-siswa yang “pintar” dan “bodoh”, dan membelajarkan mereka sehingga seluruh kecerdasan dan potensi mereka berkembang dengan baik, termasuk lulus UN.
Kedua, SMP YIMI Gresik tidak menyeleksi siswa baru. Semua siswa yang mendaftar diterima tanpa seleksi hingga jumlahnya mencapai kuota yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika kuotanya telah terpenuhi, pendaftaran ditutup, sehingga kriteria penerimaannya adalah: siapa yang lebih dahulu mendaftar, merekalah yang diterima.
Ketiga, siswa-siswa baru ini kemudian dideteksi dengan apa yang dinamakan Multiple Intelligences Research (MIR) untuk mengetahui jenis-jenis kecerdasan yang menonjol pada diri setiap siswa. Seorang siswa boleh jadi memiliki beberapa kecerdasan yang menonjol. Hasil MIR ini memperlihatkan, di antaranya, gaya belajar siswa.
Sebagai contoh, Ricky mempunyai kecerdasan kinestetik dan naturalistik. Kegemarannya mengejar-ngejar kucing di halaman sekolah, dan awalnya dia tak mau belajar. Lantas, guru-guru mendekati Ricky dan menyalurkan kecerdasan kinestetik dan naturalistiknya dengan menyilakan Rikcy membawa kucingnya ke dalam kelas sewaktu pembelajaran berlangsung (hlm. 27-32).
Banyak kasus anak unik lain diceritakan dalam buku ini. Pada mulanya, mereka umumnya menolak untuk belajar. Namun, dengan mendeteksi dan menyalurkan kecenderungan-kecenderungan kecerdasan mereka, mereka akhirnya justru senang sekali belajar. Mereka pun memahami pelajaran dengan cepat karena guru menggunakan strategi pengajaran yang pas yang selaras dengan gaya belajar para siswa.
Munif berkali-kali menekankan dalam karya perdananya yang inspiratif ini bahwa gurulah yang harus menyesuaikan strategi mengajarnya dengan gaya belajar siswa, bukan sebaliknya. Kesesuaian antara strategi mengajar guru dan gaya belajar siswa merupakan the best process.
Keempat, penilaian hasil belajar menggunakan penilaian autentik (hlm 153). Penilaian autentik (authentic assessment) ini membandingkan kondisi siswa sebelum dan sesudah belajar. Penilaian autentik lebih dekat dengan penilaian acuan kriteria (criterion-referenced assessment) daripada dengan penilaian acuan norma (norm-referenced assessment)—dua model penilaian yang dikenal dalam psikometrika. Penilaian acuan norma memukabalahkan hasil-hasil belajar antarsiswa.
Dengan penerapan teori kecerdasan majemuk dalam praktik persekolahannya selama tiga tahun, SMP YIMI Gresik berhasil menjadi SMP terbaik sekabupaten Gresik pada tahun ajaran 2006/2007.
Keberhasilan penerapan teori kecerdasan majemuk ini mensyaratkan— meminjam istilah Senge di muka—“sekolah yang mau belajar”. Bukan cuma siswa, tetapi kepala sekolah, guru, karyawan, dan wali murid pun mesti belajar.
Sekolah-sekolah lain dan pemerintah juga seharusnya berendah hati untuk belajar dari kesuksesan sekolah berbasis kecerdasan majemuk ini dalam rangka membangun sistem pendidikan nasional yang memfasilitasi, bukan menghambat, hasrat belajar anak-anak bangsa Indonesia, berdasarkan teori-teori ilmiah terbaru.[]