bersyukur dan bersabar

Posts tagged ‘merespons’

LEVEL BELAJAR YANG KOMPLEKS

Oleh Agung Prihantoro

Siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Solo, Semarang, Banten, Makassar dan kota-kota lain mampu menciptakan mobil. Prestasi mereka ini tentu patut diapresiasi dan dihargai setinggi-tingginya. Sebab, prestasi semacam ini sudah lama dinanti-nantikan oleh rakyat Indonesia untuk membangkitkan kepercayaan diri dan memajukan bangsa.
Keberhasilan dalam menciptakan mobil adalah prestasi atau hasil belajar, sedangkan membuatnya merupakan proses belajar. Hasil dan proses belajar ini bisa dibaca dengan pelbagai perspektif. Salah satunya adalah perspektif taksonomi pendidikan, yang juga disebut taksonomi Bloom. Taksonomi pendidikan menjelaskan level belajar siswa-siswa SMK itu secara anatomis. Tulisan ini membacanya dengan taksonomi pendidikan.

Kognisi, Afeksi dan Psikomotor
Sebagaimana kita ketahui, taksonomi pendidikan merupakan kerangka pikir untuk mengklasifikasikan apa yang akan diajarkan guru (tujuan dan rencana belajar), dipelajari siswa (proses belajar), dan dievaluasi (hasil belajar). Secara garis besar, tujuan, rencana, proses dan hasil belajar ini diklasifikasikan jadi kognisi, afeksi, dan psikomotor.
Pada ranah kognisi, Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl (A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing, 2001) merevisi klasifikasi kognisi yang dibuat oleh Benjamin Bloom, Max Engelhart, Edward Furst, Walker Hill, dan David Krathwohl. Anderson dan Krathwohl membedakan pengetahuan (apa yang dipelajari) dan proses kognitif (proses belajar). Pengetahuan diklasifikasikan jadi empat, yakni faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Proses kognitif diklasifikasikan jadi enam, yaitu mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Jenis-jenis pengetahuan dan proses kognitif ini, juga jenis-jenis sikap dan keterampilan pada ranah afektif dan psikomotorik, disubklasifikasikan lagi jadi kategori-kategori yang lebih detail.
Pada ranah afeksi, Krathwohl, Bloom dan Bertram Masia (Taxonomy of Educational Objectives The Classification of Educational Goals Handbook II: Affective Domain, 1970) mengategorisasikan sikap dan perilaku jadi lima, yakni menerima (memperhatikan), merespons, menilai, mengorganisasi, dan karakterisasi.
Pada ranah psikomotor, R. H. Dave (dalam R. J. Armstrong, Developing and Writing Educational Objectives, 1970) mengklasifikasikan keterampilan jadi lima, yaitu imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi.
Sebenarnya, terdapat buku-buku lain yang mengkaji dan membuat klasifikasi-klasifikasi taksonomi pendidikan. Namun, klasifikasi-klasifikasi pada ketiga buku di atas menjadi rujukan bagi para pendidik dan pembuat kebijakan di banyak negara karena sederhana dan mudah diaplikasikan. Meski demikian, seperti kata para penggagasnya, klasifikasi-klasifikasi tersebut “selalu berkembang, tak pernah selesai dan tak pernah menjadi baku”. Artinya, para ahli diharapkan untuk senantiasa merevisi, memodifikasi atau mengembangkannya sesuai dengan kemajuan zaman, ilmu dan teknologi.

Proses yang Kompleks
Menciptakan mobil merupakan proses kognitif keenam, proses yang paling tinggi dan kompleks. Di sini, siswa-siswa SMK itu “memadukan bagian-bagian untuk membentuk sesuatu yang koheren dan fungsional, atau untuk membuat suatu pola atau struktur baru” (Anderson dan Krathwohl, 2001: 31). Mereka memadukan pengetahuan-pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif. Mobil bukanlah barang baru, tetapi mobil-mobil Kiat Esemka, SMKN1, Tawon dan Moko berbeda dengan Toyota, Honda, Dihatsu, BMW dan lain-lain. Jadi, mobil buatan siswa-siswa SMK itu dapat disebut sebagai pola atau struktur baru.
Proses mencipta berisikan sub-sub-proses merumuskan, merencanakan atau mendesain, dan memproduksi atau mengonstruksi. Dalam membuat mobil, siswa-siswa tersebut melewati sub-sub-proses yang panjang dan berulang-ulang: merumuskan hipotesis-hipotesis tentang cara kerja mobil, mendesain, dan kemudian memproduksinya.
Proses kognitif tersebut disertai dengan proses-proses afektif dan psikomotorik yang kompleks pula. Secara afektif, siswa-siswa itu melakukan karakterisasi, yakni membangun karakter diri mereka dengan suatu sistem nilai yang adiluhung. Mereka melihat sesuatu secara obyektif dan siap mengubah penilaian dan perilakunya jika ditemukan bukti-bukti baru. Mereka menata sikap dan berperilaku secara konsisten dan efektif dalam rangka menciptakan mobil.
Secara psikomotorik, siswa-siswa itu telah melakukan naturalisasi, benar-benar menguasai keterampilan dalam merakit mobil. Mereka mampu merumuskan tujuan, pendekatan, dan strategi dalam menggunakan keterampilan itu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mereka mendesain, mencipta, dan mengelola proyek pembuatan mobil.
Seluruh proses ini berada pada level belajar yang paling kompleks. Level belajar yang kompleks membuahkan prestasi-prestasi individual dan kolektif yang tinggi. Pada gilirannya, prestasi-prestasi yang tinggi ini akan memajukan bangsa menuju kejayaan, kemakmuran dan keadilan.
Maka, sepatutnyalah lembaga-lembaga pendidikan, pemerintah, dan pihak swasta secara serius merumuskan tujuan dan rencana pembelajaran, menyelenggarakan aktivitas-aktivitas belajar siswa, dan melakukan evaluasi pada level-level yang lebih kompleks.[]