bersyukur dan bersabar

Posts tagged ‘testing’

MENGAPA MENYONTEK DILARANG?

Oleh Agung Prihantoro

Sontek-menyontek bisa jadi sudah terjadi sejak manusia mengenal ujian (testing). Pelakunya bukan hanya siswa SD, SMP atau SMA. Sebagian mahasiswa pascasarjana pun masih suka menyontek, bahkan manakala ujiannya bersifat buku terbuka (open book).
Dalam ujian dengan buku terbuka, menyontek dapat didefinisikan secara sederhana sebagai mengutip jawaban orang lain dengan bermacam cara dan alat untuk mengerjakan soal ujian. Menyontek dalam ujian dengan buku tertutup (close book) ialah mengutip isi catatan, buku, dan semacamnya dan/atau jawaban orang lain dengan pelbagai cara dan alat untuk mengerjakan soal ujian.
Ujian dengan buku terbuka dimaksudkan untuk mengukur kemampuan-kemampuan kognitif pada tingkat yang lebih tinggi, misalnya analisis, evaluasi, dan kreativitas dalam taksonomi pendidikan Bloom yang telah direvisi oleh Anderson dan Krathwohl (2001). Sementara itu, ujian dengan buku tertutup yang jamak dikenakan pada siswa SD, SMP dan SMA dan mahasiswa S-1 ditujukan untuk mengukur kemampuan-kemampuan kognitif pada level rendah, seperti pengetahuan, pemahaman, dan penerapan.
Guru-guru melarang murid-muridnya menyontek galibnya dengan alasan untuk melatih kejujuran, kemandirian berpikir, kedewasaan, dan keberanian untuk mengambil keputusan. Ini merupakan alasan afektif dan moral, yakni untuk membentuk sikap dan perilaku murid. Alasan ini bagus dan dapat diterima.

Mengurangi Validitas dan Reliabilitas
Di samping alasan tersebut, sebenarnya terdapat alasan lain mengapa menyontek dilarang. Menyontek itu mengurangi validitas dan reliabilitas. Sebagaimana diketahui, validitas dan reliabilitas menjadi syarat keabsahan instrumen dan hasil ujian. Instrumen pengukuran dalam konteks pembelajaran biasanya adalah tes.
Validitas dipahami sebagai kesesuaian alat ukur dan/atau proses pengukuran dengan sasaran ukur. Dalam perkataan yang lebih sederhana, validitas adalah mengukur apa yang seharusnya diukur. Reliabilitas merupakan kepercayaan pada skor (tes) atau kesesuaian skor (tes) dengan skor yang sebenarnya. Ringkasnya, reliabilitas berarti keajekan skor (tes) setelah berkali-kali dilakukan ujian dengan instrumen yang sama.
Tes yang reliabel dan valid diperoleh dengan pembuatan soal tes dan pelaksanaan uji tes (uji validitas dan reliabilitas) atau ujian yang memenuhi persyaratan ilmiah. Pembuatan soal tes yang reliabel dan valid dan pelaksanaannya yang mengikuti kaidah dan langkah ilmiah akan menghasilkan skor tes yang valid.
Salah satu kaidah pelaksanaan tes atau ujian tersebut adalah melarang siswa menyontek dalam mengerjakan soal tes. Siswa yang menyontek berarti mengerjakan soal tes bukan berdasarkan kemampuannya sendiri, melainkan dengan bantuan catatan, buku, atau orang lain. Sehingga, hasil ujiannya tidak sepenuhnya menunjukkan kemampuan siswa itu sendiri. Hasil ujian semacam ini tidak valid.

Melibatkan Siswa
Larangan sontek-menyontek dengan alasan validitas dan reliabilitas di atas merupakan perspektif pembuat soal tes. Bagaimana perspektif siswa sebagai peserta tes?
Siswa menyontek barangkali karena mereka tidak siap ujian; takut tidak lulus; tekanan dari sekolah, orangtua, dan masyarakat untuk memperoleh nilai yang tinggi atau lulus; atau sebab-sebab lain. Mahasiswa yang mengerti tentang validitas dan reliabilitas tes pun menyontek lantaran keinginan dan ketakutan “instingtif” yang kuat itu. Lantas, mereka menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan nilai yang tinggi atau lulus.
Andai hal ini terjadi, berarti ujian menjadi momok yang mencemaskan dan menakutkan. Mengenai kecemasan dan ketakutan ini, guru, dosen, ahli evaluasi, pembuat soal tes, dan pejabat di lingkungan Departemen Pendidikan kerap menyatakan bahwa bila siswa rajin belajar dan mempersiapkan diri dengan baik, mereka tak perlu cemas dan takut untuk menghadapi ujian. Namun, ini lagi-lagi bukan pendapat siswa.
Nyatanya, aktivitas pembelajaran tak selalu berlangsung lancar. Persiapan siswa di sekolah dan di rumah untuk menyongsong ujian pun tak senantiasa berjalan dengan baik. Masalah ini boleh jadi disebabkan oleh siswa, guru, kurikulum, metode pengajaran, metode belajar, lingkungan, atau sarana dan prasarana, atau kehidupan keluarga siswa.
Penyelesaian masalah pembelajaran dan persiapan ujian ini sebaiknya melibatkan siswa. Partisipasi siswa ini selaras dengan pendekatan pembelajaran student-centered yang acap dikumandangkan oleh para ahli pendidikan. Jadi, pendekatan student-centered semestinya bukan cuma menekankan aktivitas belajar siswa, melainkan juga melibatkan siswa dalam merampungkan masalah-masalah pembelajaran, termasuk sontek-menyontek. dalam rangka meminimalisasi sontek-menyontek dan mencapai tujuan-tujuan ujian, pembelajaran, dan pendidikan.

Meminimalisasi Sontek-menyontek
Upaya-upaya untuk mencegah dan meminimalisasi sontek-menyontek telah ditempuh oleh para pembuat dan penyelenggara tes. Pertama, pembuat tes menyusun soal-soal tes yang berbeda tetapi setara, sehingga siswa-siswa yang tempat duduknya berdekatan tidak dapat menyontek temannya. Soal-soal tes dapat pula disamakan, tetapi urutan penomorannya dibedakan.
Kedua, jarak antartempat duduk siswa saat pelaksanaan ujian direnggangkan untuk memperkecil kesempatan berkomunikasi antarsiswa. Selain itu, pengawasan ujian yang ketat juga merupakan upaya untuk mencegah dan meminimalisasi sontek-menyontek.
Masalah sontek-menyontek makin rumit ketika pejabat dinas pendidikan dan pihak sekolah justru memfasilitasi siswa untuk menyontek. Dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN), sontek-menyontek berjemaah ini dikenal dengan kasus “tim sukses”. Pejabat dinas pendidikan mengoordinasi sekolah-sekolah dan guru-guru untuk mengerjakan soal-soal UN dan kemudian memberikan jawabannnya kepada siswa-siswa. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di Amerika Serikat, misalnya, yang diagung-agungkan sebagai negara maju. Sontek-menyontek berjemaah semacam ini lebih sulit dicegah.
Agaknya, sebagaimana pelacuran dan korupsi, masalah sontek-menyontek pun susah—dan bahkan tidak dapat—dihapus sepenuhnya, dan hanya bisa diminimalisasi. Namun, perlu disadari bahwa sontek-menyontek merusak sistem pendidikan nasional.[]